Selamat Memperingati Hari Dewi Sartika, Hari Siti Walidah, Hari Cut Nyak Dhien, dan Hari-Hari Lainnya

BUKAN Hari Kartini!

Naufalrais
7 min readApr 21, 2020

Mencoba menjawab suatu hal perihal

Kenapa Hari Kartini? Sedangkan banyak pahlawan perempuan yang sangat berpengaruh bagi Bangsa Indonesia.

Jika kita melihat dalam beberapa artikel ataupun publikasi dari Negara mengenai Pahlawan Nasional, ada beberapa sosok perempuan yang menonjol perannya dalam memperjuangkan sesuatu demi kedaulatan rakyat di Indonesia. Perjuangan tersebut mulai dari berjuang turun ke medan perang, sampai memperjuangkan hak kesetaraan bagi setiap manusia untuk sama-sama menikmati pendidikan dan lain-lain tanpa memandang sebuah gender. Mereka semua menonjol bukan karena mereka terlihat “mencolok” sebagai minoritas dalam perjuangan Indonesia, sehingga ter-notice. Tetapi karena mereka memang mempunyai kemampuan untuk melakukan perjuangan tersebut.

Perjuangan perempuan dari berbagai bidang tersebut pada akhirnya memunculkan banyak nama-nama yang cukup mencuri perhatian karena tindak serta pikirannya. Tak terkecuali yaitu R.A. Kartini yang bahkan tanggal lahirnya menjadi suatu Hari Besar Nasional untuk memperingati perjuangan perempuan Indonesia, dan terlebih spesialnya lagi perhelatan Hari Besar Nasional tersebut dinamai dengan Hari Kartini. Menjadi persoalan besar ketika kita mempunyai banyak sekali tokoh perempuan yang sangat berpengaruh, akan tetapi hanya Kartini yang tersorot oleh kamera. Maka dari itu hendaklah kita coba telaah dari berbagai subjek serta objek perjuangan perempuan mempunyai dampak signifikan terhadap perempuan Indonesia sampai saat ini. Atau ada sosok lain yang mungkin saja bisa membuat kamera berpaling dari sosok Kartini.

Berjuang Di Medan Perang

Pada zaman negara kita masih tercerai-berai, terkotak-kotak, dan tertindas oleh penjajah. Entah itu Belanda, Inggris ataupun Jepang, sudah banyak perjuangan yang kita lakukan. Terutama di medan perang. Medan perang dalam pemikiran masyarakat awam selalu identik dengan laki-laki sebagai partisipannya. Tetapi, pemikiran tersebut bisa ditangkis dengan kenyataan sejarah yang menunjukkan adanya perempuan yang berjuang dan berdampak besar dalam pertempuran di medan perang. Dimana mereka bukan hanya “setor muka” dalam peperangan, tetapi memang berdampak cukup besar.

Salah satu sosok yang tidak asing bagi kita untuk seorang perempuan yang berada di medan perang yaitu Cut Nyak Dhien. Dia merupakan pahlawan yang berasal dari Kesultanan Aceh. Dia berperang dengan Belanda pada sekitaran tahun 1870-an. Perjuangannya dalam melawan Belanda sangat keras dan berliku-liku. Bisa dilihat dalam beberapa literatur tentang dirinya, perjuangan Cut Nyak Dhien sangat berdarah-darah, bahkan sampai ditinggalkan suaminya yaitu Teuku Ibrahim Lam Nga untuk selama-lamanya. Setelah itu dia menikah lagi dengan Teuku Umar dan kembali berjuang bersama suami barunya itu tanpa kenal lelah sama sekali.

Dalam perjuangan seorang Cut Nyak Dhien terlihat sosok seorang perempuan yang sangat kuat baik fisik maupun mental. Berjuang tanpa henti, dan bahkan dalam beberapa literatur mengenai Cut Nyak Dhien, dijelaskan bahwa dia menerima lamaran dengan syarat diizinkan untuk ikut bergerilya. Dari hal tersebut bisa terlihat tekadnya yang sangat kuat dalam memperjuangkan kedaulatan rakyat. Tentunya hal ini haruslah menjadi sebuah contoh bagi semua orang (bukan hanya perempuan) untuk mengimplementasikan kedalam kehidupan masa kini yaitu berjuang tanpa henti, berani turun/terjun ke lapangan untuk membela suatu kebenaran.

Berjuang Dalam Bidang Pendidikan

Pendidikan menjadi suatu hal penting dari lingkup yang paling kecil yaitu keluarga, sampai kedalam lingkup nasional. Dari pendidikan muncullah output berupa watak, susila, sampai pemikiran ataupun karya-karya riil. Bahkan dari pendidikan ini bisa menciptakan negara Indonesia kita merdeka, karena para pejuang yang sudah terpelajar dan bisa berjuang melalui jalan lain yaitu perundingan yang tidak memakan korban banyak, akan tetapi tetap menjaga kedaulatan negara.

Tetapi banyak permasalahan dalam masalah pendidikan yaitu adanya suatu ketimpangan partisipasi antara perempuan dan laki-laki. Bahkan ada diskriminasi dalam pendidikan, bahwa perempuan kodratnya hanya berada pada 3-ur (Kasur, Dapur, dan Sumur). Hal tersebut menjadi suatu stigma yang salah di masa lampau, bahkan sampai masa sekarang. Para perempuan seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Siti Walidah melihat masalah tersebut sebagai masalah yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena perempuan pada dasarnya adalah tetap sebagai manusia dan mempunyai haknya sebagai manusia untuk belajar atau sama dengan yang lainnya. Terlebih kodrat ibu yang lebih dekat dengan anak, menyebabkan seorang ibu sebagai guru pertama kali harus menjadi seorang yang terdidik.

Dewi Sartika, salah satu pahlawan asal Bandung, Jawa Barat mencoba menyelesaikan masalah tersebut dengan membangun Sekolah Isteri yang pada akhirnya berubah menjadi Sekolah Keutamaan Istri yang merupakan sekolah/tempat belajar istimewa untuk para perempuan. Sekolah tersebut dibangun dan dipelopori olehnya karena tergerak akan perempuan-perempuan yang haknya ditentukan oleh bapak ataupun suaminya, padahal perempuan sebagai manusia juga bebas memilih untuk harus terampil dalam suatu bidang serta merasakan hal yang sama dengan laki-laki. Di sekolah tersebut para perempuan diajarkan baca, tulis, hitung, bahkan sampai keterampilan menjahit dan lain-lain. Dari hal tersebut Dewi Sartika menunjukkan jiwa revolusionernya. Menginginkan suatu perubahan untuk ke depan yang lebih baik.

Dilansir dari tirto.id “Dewi Sartika: Pendidik dari Priangan, Melawan Adat Kolot & Poligami”

… ia menghidupi kata-katanya yang terkenal di kalangan masyarakat Sunda. “Ieuh barudak, ari jadi awewe kudu sagala bisa, ambeh bisa hirup!" Maksudnya: Anak-anakku, sebagai perempuan, kalian harus memiliki banyak kecakapan agar mampu hidup.

Melangkah ke Yogyakarta, ada istri seorang Kyai terkemuka di Indonesia, istri dari K.H. Ahmad Dahlan (pelopor organisasi Muhammadiyah) yaitu Siti Walidah. Tidak jauh beda cita-cita dan perjuangannya dengan Dewi Sartika. Siti Walidah juga mendirikan sebuah forum yaitu Sopo Tresno yang sejenis dengan sekolah bagi perempuan. Dimana di dalam Sopo Tresno dilangsungkan sejenis kajian-kajian mengenai peran perempuan dengan merujuk pada Al-Quran bahwa perempuan juga mempunyai suatu hak yang sama sebagai manusia. Serta menyatakan sikap kuat bahwa tidak selayaknya ada penindasan terhadap perempuan serta posisi istri dalam rumah tangga yaitu sebagai rekan, bukan sebagai bawahan. Sopo Tresno terus mengalami kemajuan sampai akhirnya terbentuk organisasi Aisyiyah. Aisyiyah yaitu organisasi sayap Muhammadiyah yang berfokus pada pengembangan perempuan. Pada akhirnya emansipasi terhadap hak-hak perempuan semakin berkembang di dalam tubuh organisasi Aisyiyah.

Dimana Posisi Kartini?

Dari beberapa pahlawan yang tersebut namanya di atas, bisa dilihat mereka dengan berjuang dengan melakukan aksi nyata sebagai bentuk perjuangannya. Mulai dari berani melawan penjajah, sampai berani melawan adat yang ada. Apabila perihal terjun ke lapangan dan berani melawan, tentu seorang Kartini masih kalah dengan mereka, yang mungkin disebabkan karena usianya yang masih sangat muda sehingga masih dihantui rasa takut untuk melawan.

Apabila benar kita telaah lebih dalam, memang tidak terlihat aksi “real” dalam artian berjuang terjun ke lapangan. Dalam surat-suratnya dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, rata-rata berisi tentang keluhan dan harapan. Sadar ataupun tidak sadar selama ini kita mengagungkan tokoh emansipasi yang bahkan tidak melakukan aksi menunjukan memperjuangkan hak perempuan. Kita selama ini menobatkan tokoh perjuangan emansipasi kepada wanita yang terkurung dirumahnya selama ±2 tahun yang di dalam rumahnya hanya mengeluh dan berharap dalam suatu tulisan.

Tentu menjadi hal yang sangat keliru apabila Hari Perempuan Nasional ini dinobatkan sebagai Hari Kartini yang orangnya pun laksana layaknya filsuf, beronani dengan pikiran tanpa berani melakukan suatu perjuangan.

Tetapi Kartini tetaplah seorang pahlawan. Dengan tulisannya yang indah dan menyayat, menggambarkan dengan jelas kondisi wanita seperti apa. Dan terlihat sikap kenegaraannya yang jelas yaitu menjelaskan bahwa perempuan melakukan semua hal bukan untuk dirinya sendiri, akan tetapi juga untuk bangsa dan negara. Dia mencoba memperjuangkan hak perempuan dengan jalan yaitu menulis, walaupun tulisan tersebut terlihat hanya berupa keluhan saja karena tidak terdengar ataupun sampai maknanya oleh perempuan lain di Indonesia khususnya daerahnya di Jepara atau pulau Jawa pada saat itu. Baru saat-saat sekarang ketika sampai maknanya, pada saat perempuan sudah terdidik, nilai-nilai yang diharapkan seorang Kartini mulai diamalkan.

Jadi kurang tepat apabila seorang Kartini dikatakan seorang pelopor emansipasi, karena dia bukanlah penggerak pertama kali pada saat para perempuan melakukan perlawanan dan mendapatkan haknya untuk meraih pendidikan dan hak-hak lainnya. Akan tetapi, kita tetap menyatakan dia sebagai pahlawan, karena bisa dibilang dia lah yang secara gamblang menginginkan perempuan untuk terpelajar dan meraih banyak hal.

Maka penyebutan Hari Kartini yang awal mulanya ditetapkan oleh Soekarno dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 dirasa sangat kurang tepat dan bisa dikaji ulang. Apabila Kartini dianggap sebagai pelopor emansipasi perempuan Nasional, maka sudah seharusnya Hari Proklamasi ataupun Kemerdekaan Indonesia diganti namanya menjadi Hari Soekarno-Hatta atau bahkan menjadi Hari Sutan Syahrir sebagai orang yang mendesak proklamasi kemerdekaan Indonesia saat itu. Penentuan Hari Kartini pada akhirnya juga menyebabkan suatu pernyataan liar dimasyarakat awam seperti:

Hari Kartini karena Kartini itu adalah orang Jawa, dan Soekarno yang menetapkan juga orang Jawa.

Hari Kartini gambaran dari Jawasentris

Walaupun banyak yang tetap positive thinking terhadap perhelatan Hari Kartini ini, tapi bukan tidak mungkin orang lain yang berpendapat seperti di atas demikian dapat merongrong ataupun menggangu persatuan rakyat Indonesia.

Maka dari itu, sudah hendaknya mengkaji ulang perihal hal tersebut, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada beliau.

SELAMAT HARI PEREMPUAN NASIONAL INDONESIA

Setiap Hari Adalah Hari Kalian Wahai Perempuan Indonesia, Hari Untuk Mendapatkan Kesenangan dan Hari Untuk Mendapatkan Hak Sebagaimana Mestinya.

Jika seorang Kartini, Dewi Sartika dan lain-lain menginginkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.

Maka Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Siti Walidah dan para pahlawan perempuan Indonesia lainnya juga pasti menginginkan kesetaraan bahwasannya mereka adalah “perempuan” juga seperti Kartini, bukan hanya Kartini saja yang dianggap dan diistimewakan sebagai seorang “perempuan”.

-Naufal Rais

--

--