Permasalahan Dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 27

PASAL OTORITER!

Naufalrais
3 min readApr 22, 2020

PEMBEDAHAN SUBSTANSI TIAP-TIAP AYAT DALAM PERPU NOMOR 1 TAHUN 2020 PASAL 27.

Pasal 27
1.) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau
lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan
kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di
bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk
kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan
pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan
program pemulihan ekonomi nasional, merupakan
bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan
perekonomian dari krisis dan bukan merupakan
kerugian negara.

Ayat tersebut menyebabkan interpretasi yang keliru karena semua pengeluaran yang dilakukan Pemerintah untuk penanganan COVID19 dianggap beban ekonomi. Padahal, bisa jadi dalam pelaksaannya terdapat penyelewengan berupa korupsi.

Sehingga contohnya apabila ada kondisi/indikasi korupsi dalam penangan COVID19 menggunakan dana dari Pemerintah, tentu itu sudah merupakan kerugian negara karena sesuai dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 1 angka 22 bahwa dalam kondisi contoh situasi tersebut negara kekurangan uang akibat perilaku melawan hukum (dalam contoh kasus ini adalah korupsi) baik sengaja ataupun lalai.

Namun karena adanya Pasal 27 ayat 1, membuat keliru pada saat adanya indikasi korupsi terhadap penyelewengan dana untuk penanganan COVID19. Karena pada saat ketahuan korupsi, sudah pasti menyebabkan kerugian negara. Tetapi, ditabrak oleh ketentuan Pasal 27 ayat 1 bahwa selagi untuk penanganan COVID19 bukan merupakan bagian dari kerugian negara. Walaupun pasal ini tidak meniadakan pasal mengenai kerugian negara, akan tetapi pada akhirnya menjadi sebuah kekeliruan dan klise apakah merupakan kerugian negara atau bukan pada saat adanya korupsi penyelewengan dana penanganan COVID19.

Pasal 27
2.) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat
KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan,
serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat
lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terlihat dengan jelas ada kata-kata berupa "tidak dapat dituntut". Kata-kata tersebut memunculkan interpretasi bahwa setiap pejabat yang berkaitan dalam pelaksanaan Perppu ini merupakan orang yang kebal hukum karena tidak bisa dituntut selagi beritikad baik. Beritikad baik merupakan suatu hal yang sangat normatif dan sulit untuk melihat secara jelas seseorang beritikad baik atau tidak. Jadi apabila ada penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat yang menjalankan Perpu tersebut, pejabat tinggal berdalih "beritikad baik" melakukan hal tersebut, maka dia sudah menjadi seseorang yang kebal hukum.

Tentu hal tersebut bertentangan dengan asas kesetaraan hukum. Dimana dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 dijelaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dari kata tidak ada kecualinya sudah jelas bahwa semua orang sama di mata hukum tanpa terkecuali. Maka dari itu kata "tidak dapat dituntut" sangat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat 1. Hal ini menunjukkan adanya suatu keangkuhan dari pemerintah yang merasa dirinya benar dan tidak boleh dituntut dalam pelaksanaan tugas.

Pasal 27
3.) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang
dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Dalam ayat ini menandakan bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang melaksanakan Perppu ini tidak bisa digugat, digugat dalam artian keputusannya tidak bisa dibatalkan serta dikaji lebih jauh oleh PTUN. Hal ini semakin memperkuat posisi para pejabat yang berwenang mengeluarkan keputusan sesuka hati mereka. Dan apabila ada hal yang menyimpang tidak bisa digugat atau diprotes sama sekali karena dasar hukum dari Perpu ini. Hal tersebut menyebabkan keputusan pejabat seburuk apapun akan terus berjalan dan pada akhirnya menyebabkan kondisi yang bukan tidak mungkin makin memburuk.

Hal tersebut secara tidak langsung melegitimasi arti dari PTUN tersendiri. Dimana dalam UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
menjelaskan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Berarti apabila Perppu itu berjalan maka menandakan PTUN mulai kehilangan perannya sebagai lembaga yang mengadili masalah perihal tata usaha Negara.

--

--