MENGAMBIL HIKMAH DARI ANOMALI DEMOKRASI DI INDONESIA

Naufalrais
7 min readDec 26, 2020

--

sumber foto: detikcom

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Seperti itulah bunyi dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 ayat 2 yang menandakan bahwa kedaulatan dalam artian kekuasaan serta keleluasaan dalam mengatur negara berada sepenuhnya di tangan rakyat. Implementasi kedaulatan tersebut dilakukan dengan adanya suatu system demokrasi yang berada di Indonesia. Demokrasi dalam pelaksanaannya ditemukan pertama kali di Yunani, dimana demokrasi secara sederhana di Yunani berasal dari kata demos yaitu masyarakat dan kratos yaitu aturan.(1) Bisa diambil suatu kesimpulan secara etimologi Demokrasi adalah suatu sistem yang dibuat serta dilaksanakan untuk rakyat. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dapat dilihat melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang di dalam masyarakat umum penyebutannya pun dikenal dengan sebutan pesta demokrasi. Masyarakat memilih para wakil-wakil terbaiknya yang akan melanggeng ke dalam parlemen mewakili suara mereka ataupun pemimpin daerah dan negara yang dipilihnya guna melaksanakan aturan yang berlaku serta membawa masyarakat ke arah yang lebih baik dengan arahan-arahannya. Di dalam parlemen, para wakil rakyat tersebut membuat aturan-aturan yang sesuai dengan kehendak masyarakat yang memilihnya. Sudah sangat jelas terlihat bahwasannya mulai dari Pemilu, terpilihnya wakil rakyat, sampai pelaksanaan di dalam parlemen merupakan implementasi dari pelaksanaan demokrasi.

Melihat dalam ajang Pemilu di Indonesia, nampaknya sangat cocok dengan teori yang diijelaskan oleh Schumpeter mengenai definisi demokrasi yang menurutnya definisi demokrasi di era abad ke-18, bahwasannya metode demokrasi yang dilakukan yaitu sebuah penyusunan institusional untuk menyampaikan sebuah keputusan politik untuk merealisasikan kebaikan bersama (umat), dimana hal tersebut dilakukan agar masyarakat mengeluarkan pilihannya kepada institusi-institusi tersebut.(2) Bahkan demokrasi sendiri pun pada akhirnya malah menjadi suatu ajang perebutan kekuasaan politik.(3) Sangat disayangkan bahwasannya demokrasi yang seharusnya bisa menjadi suatu jiwa ataupun jantung suatu negara dalam menjalankan atau sebagai implementasi dari generale volante atau kehendak masyarakat umum. Dalam Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson, menjelaskan bahwasannya kehendak masyarakat umum melalui suatu institusi politik yang inklusif sangat penting dalam menentukan gagal atau tidaknya suatu negara, seperti perbedaan kemakmuran antara Nogales, Arizona (Amerika Serikat) dan Nogales, Sonora (Meksiko) yang berbatasan langsung tetapi mempunyai taraf hidup yang sangat berbeda. Karena di tiap negara tersebut mempunyai instansi yang berbeda dan sangat berbeda dalam pemberian intensif terhadap masyarakat.(4) Oleh karena lembaga masyarakat sangat berpengaruh terhadap perilaku dan insentif yang didapatkan warga dalam kehidupan nyata, maka lembaga tersebut juga mewarnai kesuksesan atau kegagalan negara.(5)

Tidak dapat dipungkiri kontestasi Pemilu di Indonesia sebagai implementasi dari demokrasi berjalan tidak sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak berjalan sesuai dengan hakikat demokrasi sebagai bentuk realisasi kedaulatan masyarakat. Gambaran nyata pada saat ini yaitu adanya suatu UU yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa dibilang sangat bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat umum. Contohnya yaitu mulai dari disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi Undang-Undang (UU), sampai pembahasan RUU Cipta Kerja yang sampai sekarang belum diberhentikan ataupun dirombak keseluruhan draftnya padahal banyak sekali masyarakat yang menolak RUU tersebut, bahkan sampai melakukan aksi besar-besaran. Hal tersebut tentu memberikan suatu pertanyaan dasar “Apa yang salah dari demokrasi yang ada di Indonesia?” Demokrasi di Indonesia menurut Ichsanuddin Noorsy pada saat ini yaitu demokrasi korporasi, yiatu sistem demokrasi yang bersandar pada kekuatan sumber daya, keuangan, dan kedigdayaan factor produksi telah menukar sistem nilai non-benda menjadi kebendaan.(6) Di era neoliberal saat ini keuangan ataupun harta menjadi acuan utama dalam menjalankan kehidupan, dan kita tidak bisa menafikan bahwa banyak masyarakat yang pada akhirnya berpikiran materialistik, yaitu segala sesuatu diukur dari seberapa besar timbal balik (material/harta) yang di dapatkan. Alhasil demokrasi berjalan sesuai pola materialistik tersebut. Nilai-nilai materialistic yang tertanam dalam masyarakat pada akhirnya menciptakan berlakunya teori patron-client, yang dipopulerkan oleh James C. Scott. Pihak patron di kondisi berlakunya teori tersebut menjadi yang mengendalikan kekuasaan dan akan tetap mempertahankan patronnya agar client atau masyarakat umum terutama yang berada di kelas bawah tidak dapat naik kelas kecuali atas scenario dan penyutradaraan patron tersebut.(7)

Menarik apabila membahas patron-client di Indonesia terutama untuk saat ini, karena memang kenyataan yang terjadi sangat sesuai dengan teori tersebut. Sebelumnya kita sudah melihat dan mengetahui bahwa kondisi masyarakat di Indonesia sangat mendukung untuk berjalannya sistem patron-client. Kondisi tersebut semakin marak semenjak Pemilu tahun 2014, hal tersebut dikarenakan adanya sistem proporsional partai terbuka.(8) Aturan tersebut membuat para kandidat calon legislative (caleg) memikirkan cara agar melanggengkan dirinya ke gedung Nusantara dengan menawarkan materi dan sebagainya kepada masyarakat sebagai pemilihnya karena para caleg bertarung melawan kandidat lain yang berasal dari partai yang sama.(9) Para caleg akhirnya mencari cara dengan mengumpulkan modal sebanyakbanyaknya kepada para patron yang ada untuk melakukan pemberian materi kepada masyarakat sebagai client guna memuluskan si caleg tersebut menjadi anggota legislatif. Hal itu lah yang pada akhirnya merusak aturan-aturan yang ada di Indonesia karena aturan-aturan dibuat oleh orang-orang yang mendapat sokongan dari para pemodal, menyebabkan aturan-aturan di Indonesia didikte oleh para patron-patron. Tetapi apabila melihat harapan kita sebagai masyarakat Indonesia terhadap sistem demokrasi di Indonesia yang berjalan sebagaimana mestinya, tentu kita sangat kecewa karena berantakannya sistem demokrasi kita dan bahkan memunculkan gambaran dari teori patron-client. Demokrasi di Indonesia secara utuh dan nyata baru berjalan kembali setelah reformasi tahun 1998. Sebelum itu kita pasti mengetahui bagaimana proses serta ajang Pemilu sudah dilakukan by design oleh pemerintah saat itu yang bahkan mampu membuat seorang Presiden Soeharto menjabat selama 32 Tahun. Jadi dapat disimpulkan kita hidup dalam bangsa yang baru belajar demokrasi selama 21 Tahun. Menjadi hal wajar ketika banyak sekali pergolakan politik sampai bisa terciptanya kondisi patron-client, akan tetapi tidak selamanya kita harus mewajari hal tersebut, sudah seharusnya kita memikirkan kedepan bagaimana cara untuk membuat kultur demokrasi di Indonesia berjalan sebagaimana mestinya. Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika semua ini sudah dikendalikan oleh patron-patron tertentu?

Tentunya kita sebagai masyarakat umum haruslah mengetahui bahwa posisi kita sangat kuat dalam menentukan nasib bangsa dan negara ini, terlebih dengan penjabaran yang cukup jelas dari UUD 1945 pasal 1 ayat 2. Sudah seharusnya kita mampu menahan serta menolak mentah-mentah politik uang yang berada di pusaran lingkungan kita, memang materi/uang itu penting. Tetapi lebih penting lagi kondisi keuangan kita kedepannya. Logika sederhananya kita mendapatkan uang yang tidak seberapa sedangkan aturan-aturan yang wakil kita buat memihak para patronnya dan membuat untung para patronnya sedangkan tidak memberikan dampak positif baik langsung ataupun tidak langsung kepada kita, lebih parahnya lagi bahkan berdampak negatif kepada kita dan pada akhirnya membuat kehidupan kita menjadi berantakan kedepannya. Akan tetapi terasa sangat sulit apabila hanya kita yang menjalankan sendirian sedangkan banyak masyarakat yang masih tergiur dengan uang yang tidak seberapa untuk dampak kedepannya yang parah. Tentu kita harus merapihkan struktur social yang sudah berantakan ini, upaya menata dan merumuskan kembali sistem nilai serta jejaring social bisa dilakukan pada beberapa strata social, jika tidak bisa dalam lingkup yang besar, hal itu masih bisa dilaksanakan dalam level lingkup komunitas serta keluarga.(10) Selain itu kita juga harus terampil dalam memilih pemimpin dalam skala kecil di tingkat Rukun Tetangga (RT) sampai tingkat negara dengan memilih Presiden yang baik dan mampu menjadi panutan. Karena rusaknya struktur social yang ada, masyarakat membutuhkan pemimpin yang mampu membangun harapan yang realistis karena potensi untuk menjadi berdaya masih tersedia.(11)

Langkah lain yang mampu diambil yaitu dengan melakukan suatu revolusi ataupun sebuah pemberontakan. Seperti permasalahan di Inggris pada abad ke-17, yaitu adanya pertikaian antara pihak yang ingin berebut kekuasaan, sampai pada akhirnya meletus pemberontakan yang dikenal sebagai Glorious Revolution. Pemberontakan itu membuat sebuah sistem baru dimana masyarakat dapat lebih berpartisipasi aktif di dalam proses-proses politik, sehingga lebih dapat mengontrol lembaga kenegaraan.(12) Bahkan bonus dari hasil pemberontakan tersebut menghasilkan suatu masyarakat yang haknya tidak terganggu sehingga mampu berkreasi dan pada akhirnya terjadilah Revolusi Industri. Jadi, bukanlah suatu kebetulan mengapa Revolusi Industri terjadi di Inggris.(13) Kondisi lembaga kenegaraan yang merepresentasikan suara rakyat tersebut juga tercermin di Amerika Serikat, yang kita ketahui banyak lahir penemuan-penemuan baru disana, seperti Microsoft oleh Bill Gates, Amazon oleh Jeff Bezos, dan lainlain.(14) Tetapi tidak selamanya pemberontakan ini mampu untuk selalu membalikan keadaan atau memperbaiki keadaan yang ada. Di Meksiko ada suatu gerakan pemberontakan untuk kemerdekaan terhadap Spanyol pada tahun 1821 yang dimotori oleh Augustin de Iturbide, dimana hal tersebut dilakukan guna melepaskan diri dari Spanyol, akan tetapi karena Iturbide melihat kekosongan kursi kepemimpinan akhirnya dia mendudukinya dengan gaya kepemimpinan dictator dan membubarkan kongres yang ada.(15)

Hal yang dapat dipetik adalah dalam menjalankan serta membuat sistem demokrasi ini sebaik mungkin, bisa dilakukan dalam berbagai cara. Namun, penanaman nilai yang kuat sangatlah diperlukan agar semua yang berjalan sesuai sistem nilai yang berlaku dan tidak adanya penyimpangan-penyimpangan karena pada akhirnya akan mengikuti sistem nilai yang ada. Dengan cara memberontak sekalipun, diperlukan penglihatan secara luas, kita bisa mengambil hikmah dari pemberontakan tersebut bagaimana dalam pemberontakan pun diperlukan penanaman nilai yang baik. Apabila nilai yang tertanam dalam pemberontakan yaitu membalas dendam atau ingin merasakan apa yang orang dahulu rasakan dengan nikmatnya tanpa memikirkan hal lain. Maka pemberotakan tersebut menjadi sia-sia. Seperti pemberontakan di Inggris, tujuan dari pemberontakan tersebut adalah menciptakan keseimbangan kekuasaan dengan masyarakat yang mendapatkan akses mudah untuk masuk atau melanggeng ke parlemen sehingga mampu mencipatakan aturan sesuai kehendak masyarakat serta mengawasi pemimpin yang ada dalam melaksanakan tugasnya. Jadi penanaman nilai dalam menghentaskan problematika demokrasi di Indonesia sangatlah penting dengan menyingkirkan orientasi materi serta kekuasaan semata.

(1) Bernard Crick, 2002, Democracy: A Very Short Introduction, New York: Oxford University Press, hlm. 11
(2) Joseph A. Schumpeter, 1976, Capitalism, Socialism, and Democracy, London: Routledge, hlm. 250
(3) Ibid. hlm. 271
(4) Daron Acemoglu & James A. Robinson, 2017, Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan, Terjemahan oleh Arif Subiyanto, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, hlm. 39
(5) Ibid. hlm. 43
(6) Ichsanuddin Noorsy, 2019, Bangsa Terbelah, Tangerang Selatan: PT Mediabaca Mandiri, hlm. 5
(7) Ibid. hlm. 7
(8) Edward Aspinall & Mada Sukmajati, 2015, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, Yogyakarta: PolGov, hlm.13
(9) Ibid. hlm. 15
(10) Ichsanuddin Noorsy, Op.Cit., hlm. 24
(11) Ibid. hlm. 25
(12) Daron Acemoglu & James A. Robinson, Op.Cit., hlm. 110
(13) Ibid. hlm. 111
(14) Ibid. hlm. 43
(15) Ibid. hlm. 27–28

--

--