MENANTI KEBANGKITAN ACADEMIA

sebuah anti-tesis dari pendidikan yang ada saat ini.

Naufalrais
5 min readJun 24, 2020

Dunia saat ini tengah diterpa badai sebegitu kencangnya karena pandemi dari virus corona. Tak terkecuali Indonesia juga terkena badai tersebut yang berdampak ke banyak sektor-sektor baik dalam ekonomi-sosial maupun politik. Dalam ekonomi tersendiri sangat jelas terlihat mengalami terjun payung, karena dampaknya yang berimbas ke seluruh bidang, salah satunya bidang UMKM yang biasanya menjadi penopang krisis ekonomi di Indonesia juga terdampak wabah ini sehingga tidak ada penopang dalam menjaga stabilitas ekonomi. Tentu saja dari hal tersebut, masyarakat melakukan apapun menjadi sulit karena terkendala biaya, dan salah satunya yaitu para orang tua dari mahasiswa ataupun mahasiswa itu sendiri yang pada akhirnya terbebani oleh biaya kuliah yang tetap, bahkan beberapa biayanya malah naik, tetapi tidak bisa memenuhi itu semua karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan.

Perbincangan antar mahasiswa saat ini sangat masif mengenai permasalahan kemampuan pembayaran biaya kuliah, diluar masalah-masalah yang lainnya. Bahkan akhir-akhir ini dalam beberapa kanal berita serta kanal informasi dari mahasiswa memberitakan bahwa beberapa kampus akan menaikan biaya kuliah bagi mahasiswanya. Salah satu yang sangat mencolok adalah fenomena perihal biaya kuliah atau di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dikenal dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tidak mengalami penurunan, bahkan di beberapa PTN mengalami kenaikan. Kenaikan UKT di tengah kondisi seperti ini tentu sangat memancing tanggapan bahkan emosi khalayak ramai. Dimana seharusnya pendidikan menjadi tonggak utama suatu negara yang bahkan seharusnya dapat diakses oleh siapapun itu tanpa melihat status ekonomi dan sebagainya. Pendidikan menjadi tonggak suatu negara karena dari pendidikan yang bagus maka akan menciptakan sumber daya manusia yang bagus, dimana mampu menjalankan negara ini dengan baik karena ditopang oleh ilmu yang memadai. Tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 tujuan-tujuan mulia kita dalam pendidikan yang seharusnya diimbangi dengan tidak memberatkan seseorang yang ingin mengenyam pendidikan di tingkat apapun.

Kondisi seperti ini mengingatkan penulis pada masa Yunani Kuno dahulu, lebih tepatnya di masa akhir atau penutup Pra Sokratik — sebuah era dimana para pemikir atau filsuf yang muncul sebelum masa Socrates. Pada masa itu ada salah satu kaum pemikir atau filsuf-filsuf yang berfokus memandang atau mengkaji perihal hubungan antar manusia serta negara sebagai gebrakan baru dalam berpikir ditengah pemikiran-pemikiran yang membahas mengenai alam, kaum tersebut bernama Kaum Sofis. Kaum Sofis merupakan beberapa pemikir atau filsuf yang cukup tersohor dimasanya karena merupakan seorang yang terlihat bijaksana dalam bernegara serta dalam segi keilmuan, dan sebagai catatan mereka bukan merupakan penganut sebuah satu mazhab yang sama, melainkan mempunyai pemikiran yang satu frekuensi antar orang-orangnya. Karena tersohornya mereka serta sistem demokrasi dimasanya sedang dalam hegemoni yang cukup kuat, sehingga dibutuhkanlah sumber daya manusia yang mampu menjalankan sistem demokrasi tersebut. Terlebih kemampuan mereka yang sangat terkenal yaitu dalam bidang retorika atau seni berbicara yang menjadi unsur penting dalam menjaga iklim demokrasi agar tetap baik, mengingat demokrasi mengenai tentang keputusan di tangan rakyat, tentu saja dibutuhkan kemampuan menenangkan sampai menarik hati suara rakyat guna menjaga iklim demokrasi tidak ruwet pada masanya. Maka dari itu beberapa kaum sofis akhirnya mendirikan sebuah sekolah atau fasilitas pendidikan bagi masyarakat yang ingin terjun ke dunia politik.

Namun sayangnya sekolah yang didirikan tersebut merupakan sekolah yang memungut biaya masuk atau biaya pembelajarannya bahkan cukup mahal pada masanya. Menyebabkan hanya orang-orang tertentu saja yang mampu mengenyam pendidikan disana. Hal tersebut tentu sangat relevan dengan masa sekarang dimana banyak institusi pendidikan yang mempunyai standar biaya yang tinggi, yang mengakibatkan semua orang tidak dapat mengakses pendidikan tersebut. Apabila hal seperti ini terus terjadi, bukan tidak mungkin ketimpangan akan terus melebar di segala bidang.

Pada zaman Yunani Kuno disaat adanya sebuah sistem pendidikan yang dipelopori oleh Kaum Sofis, beruntung ada seseorang bernama Socrates. Seorang filsuf yang cukup tersohor yang kisahnya berasal dari cerita/literatur murid-muridnya yaitu Plato sampai Aristoteles, yang dimana Plato dan Aristoteles pun merupakan filsuf yang tersohor dengan karya-karyanya. Socrates bisa dibilang sebagai sebuah anti-tesis dari sistem yang sudah ada di masa itu. Bisa dibilang semua sistem yang ada pada saat itu dia tentang, seperti sistem pendidikan dan pemikiran Kaum Sofis, sampai sistem demokrasi pada saat itu pun ditentang olehnya. Tetapi disini kita hanya melihat serta mengambil pelajaran dari pertentangan mengenai pendidikan yang relevan antara masa saat itu dengan saat ini. Walaupun segala lingkup kehidupan yang dijalankan oleh kaum sofis hampir semuanya relevan di masa sekarang terlebih perihal dunia politik dan retorika. Kembali lagi perihal Socrates, dimana dia menentang hal tersebut dengan membuat gerakan menerima murid baru seperti Plato dan lain-lain dengan tidak memungut biaya sama sekali serta menghidupkan suatu metode mengajar baru yang dikenal dengan metode Socrates. Metode Socrates merupakan sebuah metode pembelajaran dengan teknik diskusi dan menanyakan pendapat masing-masing murid yang kemudian dirangkum, ditengahi, serta dicoba diambil sebuah konsensus oleh sang gurunya yaitu Socrates, dimana metode itu pun bahkan sebuah anti-tesis dari metode pembelajaran kaum sofis yang satu arah layaknya seorang guru di sekolah dasar mengajar murid-muridnya tanpa adanya diskusi yang masif.

Cita-cita Socrates tampaknya cukup jelas dalam penjabaran sebelumnya, yaitu ingin menciptakan sebuah sistem pendidikan yang ramah bagi semua orang, termasuk dalam segi biaya. Namun sayang umurnya yang tidak bertahan lama karena Socrates mendapatkan dakwaan berupa eksekusi mati karena idealismenya menentang sistem demokrasi yang ada pada saat itu yang berantakan, sehingga dia tidak dapat melanjutkan cita-cita karena usianya yang harus tutup lebih awal. Maka dari itu, perjuangan tersebut dilanjutkan oleh muridnya yang tersohor karena peninggalan literaturnya yang sangat membekas, yaitu Plato. Plato sebagai penerus perjuangan Socrates akhirnya mendirikan sebuah sekolah, bahkan bisa juga disebut universitas yaitu Academia. Senada dengan gurunya, Plato pun merupakan anti-tesis dari para kaum sofis dan Academia pun juga demikian. Disaat para kaum sofis mendirikan instansi pendidikan dengan hanya berfokus soal pembelajaran retorika dan dunia politik, Academia terlihat layaknya sebuah universitas dengan kurikulum yang komprehensif membahas segala hal yang tidak berfokus hanya ke dunia politik dan bahkan tidak dipungut biaya alias gratis. Pendidikan yang gratis ini sudah jelas merupakan sebuah perlawanan daripada kaum sofis yang sekolahnya berbayar.

Dari kisah pertentangan antara Socrates, Plato, beserta murid-murid lainnya dengan para kaum sofis yang kita simak, bisa dibilang amat sangat relevan dengan kondisi pendidikan pada saat ini, bahkan juga sendi kehidupan lain seperti politik dan ilmu sosial lainnya. Tetapi untuk saat ini, sayangnya tidak ada yang mampu menggebrak dan melakukan terobosan dalam pelaksanaan pendidikan newmainstream yang berkelanjutan layaknya Plato yang mendirikan Academia lalu dilanjutkan oleh Socrates yang membuat sekolah. Padahal dengan adanya suatu newmainstream, yaitu suatu sistem pendidikan yang berbasis dengan kurikulum yang jelas dengan metode pembelajaran sesuai dengan apa yang dikuasai oleh murid-murid serta biaya yang murah bahkan gratis, bukan tidak mungkin pendidikan di Indonesia bahkan dunia mengalami perubahan yang mampu meningkatkan harkat dan martabat serta mampu memenuhi hajat hidup orang banyak karena dampak pendidikan yang sangat positif.

Maka dari itu, apakah kita tengah kembali ke masa Yunani Kuno? Sebuah kemunduran atau pengulangan sejarah? Apakah harus ada pendidikan new mainstream layaknya Academia pada masa Yunani Kuno?

Saya yakin Anda mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan melihat sejarah dan realita yang sudah Saya jabarkan.

--

--