AL-MUHASIBI ( Al-Harits bin Asad )

Naufalrais
7 min readJan 20, 2021

--

Menjadi Sufi Bukan Hanya Perihal Zuhud

sumber foto: akurat.co

Tasawuf

Mendengar kata tasawuf, terbenak tentang inti ajaran yang berserah diri atau memfokuskan diri kepada Allah SWT. sebagai Tuhan, sampai mendapatkan atau mencapai suatu ma’rifah (pengetahuan hakikat Tuhan. Sebagaimana asal mula kata tasawuf, salah satu dari berbagai definisi lainnya, berasal dari kata Shaff (صف) yang memiliki artian barisan serta Shûf (صوف) yang artinya bulu domba, dimana sering digunakan sebagai pakaian rabbi yahudi pada zaman dahulu sebagai suatu symbol kesederhanaan[1]. Dari pernyataan teresbut membawa kita pada suatu simpulan bahwa tasawuf dapat diartikan sebagai kumpulan atau barisan orang-orang sederhana yang selalu berada di jalan Allah SWT. Di sisi lain, apabila kita lihat secara kasat mata, tasawuf hampir sama atau bahkan merupakan sebuah bentuk dari zuhud. Akan tetapi kedua hal tersebut mempunyai perbedaan tersendiri, dimana zuhud merupakan sebuah sifat atau akhlak dari Nabi yang mengutamakan Allah di atas kenikmatan duniawi dan keterlenaan, sedangkan tasawuf merupakan sebuah penyerahan diri yang mempunyai suatu maksud dengan tujuan pokok memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, dimana dengan pokok-pokok bahasan yang tersirat dari Nabi Muhammad SAW.[2] Penyerahan diri ini biasanya dilakukan dengan berbagai cara oleh beberapa tokoh yang berbeda mulai dari landasan berpikir, fiqh, sampai budayanya. Seseorang atau subjek yang menjalankan ilmu tasawuf tersebut dikenal dengan sebuatan seorang sufi. Bahkan sampai ajaran tasawuf pun mempunyai sebutan lain yaitu ajaran sufisme atau sufistik yang berarti ajaran seorang sufi. Banyak pendapat mengenai istilah ini, akan tetapi satu makna yang dapat kita ambil dalam ajaran ini yaitu adanya maksud mulia dengan hanya mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. sebagai Tuhan.

Selain banyaknya pendapat perihal definisi, terdapat juga berbagai macam pendapat mengenai kapan tasawuf atau sufisme ini ada, dan lebih mengerucut lagi menjadi suatu pertanyaan mengenai kapan pada akhirnya tasawuf menjadi sebuah ilmu dengan basis epistemologi yang jelas serta siapa pelopornya. Namun di kalangan awam, tasawuf dikenal dari beberapa tokoh tersohor seperti penulis karya Fihi Ma Fihi yaitu Jalaludin Rumi yang sangat jelas memperlihatkan kesufiannya dengan sikap rendah diri serta spiritualitas yang kuat, dilihat dari isi buku-buku yang dia tulis. Kemudian ada juga penulis karya Ihya ‘Ulum al-Din yaitu Al-Ghazali yang selama ini kita kenal dengan kekuatan atau penguasaan pada bidang fiqh, ternyata merupakan seorang sufi. Al-Ghazali memandang tasawuf ajaran perihal memakan yang halal, mengikuti akhlak, perbuatan dan perintah Rasul yang tercantum di dalam sunnahnya.[3] Bahkan makna tersirat dari Ihya ‘Ulum al-Din bukan hanya perihal pemurnian Islam semata, tetapi sampai pada titik untuk mengawinkan fiqh atau syariat dengan tasawuf yang murni tanpa adanya campur baur dari manapun. Tasawuf dan syariat dinilainya sebagai dua aspek agama yaitu syariat sebagai landasan dan tasawuf sebagai amalan menuju tujuan.[4] Selain kontroversi serta pertentangannya dengan penganut ilmu kalam dan filsafat yang membuatnya cukup terkenal, akan tetapi ada satu hal yang dia perkenalkan secara luas yaitu ilmu tasawuf. Menarik memandang hal tersebut dan membuat kita penasaran terhadap sosok serta kejadian yang menyebabkan atau mempengaruhi seorang Al-Ghazali di tengah-tengah pergulatan ilmu pengetahuan pada masanya, lebih memilih ke jalan tasawuf.

Al Muhasibi Dalam Fiqh, Kalam, Filsafat, dan Tasawuf

Seseorang yang cukup berpengaruh terhadap Al-Ghazali dalam bertasawuf dan bahkan terbitnya Ihya ‘Ulum al-Din yaitu Al-Harits bin Asad atau lebih dikenal dengan Al-Muhasibi. Al-Muhasibi merupakan seorang sufi kelahiran Basrah pada 165H/781M dengan ayahnya seorang kaya raya serta berpaham Mu’tazilah. Sedari kecil Al-Muhasibi bisa dibilang merupakan seorang petualang intelektual, terbukti dengan masa mudanya yang selalu berpindah-pindah tempat ditambah dengan masa kecilnya di Baghdad yang mempelajari mulai dari fiqh, hadis, kalam, sampai tasawuf.[5] Apabila melihat pada konteks zaman, yang dilakukan Al-Muhasibi merupakan suatu hal yang biasa, sebab pada zaman ini merupakan era kekhalifahan Abbasiyah yang sedang dipimpin oleh Harun Al-Rasyid yang merupakan era keemasan di Baghdad, dimana ilmu pengetahuan sedang berkembang pesat serta sebagai perusat peradaban dan pusat ilmu pengetahuan dunia.[6] Petualangan intelektual tersebut bukan tanpa hasil dan hanya menjadi sebuah angin lalu. Akan tetapi semua petualangan intelektualnya tertutang ke dalam gagasan berupa karya-karya tulis. Karya-karya tersebut yaitu Fahm Al-Quran yang berisi metode rasional dalam memahami Al-Quran, kemudian ada Al-Ri’ayah yang mengusung metode rasional dalam menafsirkan hukum agama, dan Al-Washaya perihal spiritualitas ajaran agama. Ketiga karya itu menggambarkan Al-Muhasibi yang berada dalam 3 sampai 4 lingkup keilmuan sekaligus yaitu mulai dari fiqh, kalam, filsafat, sampai tasawuf.[7] Dimana Al-Washaya merupakan kitab yang peling mempengaruhi tasawuf Al-Ghazali dengan isi karyanya berupa rangkaian nasihat-nasihat tentang kezuhudan.[8] Tidak seperti sufi lainnya, dimana hanya terpaku pada praktik kezuhudan. Dimana fiqh oleh kalangan tasawuf hanya dianggap sebagai `ilm al-Dzahir. Di sisi lain tasawuf diangap sebagai `ilm al-Bathin yang merepresentasikan pengalaman intuisi.[9]

Walaupun berada dalam lingkup keilmuan yang luas, perlu diperhatikan bahwasannya Al-Muhasibi tetap mempunyai landasan fiqh yang kuat, sebagaimana layaknya para ilmuwan dari Abbasiyah yang mendapatkan fiqh sebagai pelajaran pertama dan dasar di masa kecil dan tertanam sampai besar. Sebagaimana terlihat Al-Muhasibi menjadi bagian dari kalangan penganut tasawuf sunni. Tasawuf sunni merupakan tasawuf yang memagari diri dengan Al-Quran dan Hadis secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan serta mengaitkan antara ahwal dan maqamat.[10] Jadi dapat dikatakan landasan fiqh dalam diri Al-Muhasibi sangatlah kuat walaupun berkutat dalam ilmu-ilmu lain yang sebagaian kalangan menganggap ilmu-ilmu tersebut substansinya keluar dari ajaran Islam. Pada kasus perselisihan Al-Muhasibi dengan Ahmad bin Hanbal atau yang kita kenal dengan Imam Hambali, Al-Muhasibi pun tidak pernah berkutat di pusaran masalah aqidah serta fiqh Al-Muhasibi, tetapi bermasalah dan berseteru di pusaran karya-karya Al-Muhasibi yang bernuansa kalam.[11] Tetapi Al-Ghazali sebagai murid tidak langsung membela Al-Muhasibi dan mengatakan bahwa Al-Muhasibi tidak menyimpang dari ajaran agama karena bagaimanapun landasan fiqh dari Al-Muhasibi yang cukup kuat serta mempertanyakan, bagaimana bentuk konkret dari berpegang pada Al-Quran dan Al-Sunah?[12]

Banyaknya ranah keilmuan yang dia geluti tidak membuat Al-Muhasibi besar hati dan memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya dibarengi dengan pengetahuan yang lain. Tasawuf sebagai jalan hidupnya dapat terlihat dari pendapatnya “Landasan ibadah itu adalah kerendahan hati, sementara kerendahan hati itu bersumber dari takwa. Landasan takwa itu rasa takut dan rasa harap. Rasa takut maupun rasa harap muncul dari pemahaman terhadap janji dan ancaman Tuhan. Pemahaman terhadap janji dan ancaman Tuhan muncul karena ingat balasan Tuhan. Ingat akan balasan Tuhan muncul dari penalaran serta renungan hati.”[13] Nampak terlihat jelas nilai-nilai ajaran tasawuf dalam perkataan tersebut dengan menggambarkan konsep kerendahan hati yang berujung atau berpangkal pada Tuhan. Tasawuf sebagaimana dikatakan sebelumnya yang merupakan konsep penyerahan diri terlihat jelas dalam pendapat tersebut dimana ibadah bukan hanya perihal menjalankan kewajiban, tetapi merupakan penyerahan diri secara utuh kepada Tuhan karena janji dan ancaman Tuhan serta hal-hal lainnya. Selanjutnya, kata-kata terakhir yaitu “renungan hati” merupakan gambaran dari dirinya sendiri, dimana dia disebut “Al-Muhasibi” dikarenakan sifatnya yang selalu bermuhasabah atau introspeksi diri.[14] Sifat muhasabah dari Al-Muhasibi sendiri dapat terlihat dari tulisannya-tulisannya yang banyak mengandung unsur introspeksi diri sebagai manusia di setiap tindakan sampai dalam beribadah. Dimana introspeksi terhadap ibadah bertujuan untuk memperjelas tujuan ibadah kita yaitu menuju kepada Tuhan (lebih lengkap lihat Al-Harits Al-Muhasibi, 2012, Belajar Ikhlas: 91 Kiat Menemukan Nikmat Taat, Editor Izzuddin bin Abdissalam, Terjemahan oleh Luqman Junaidi, Jakarta: Zaman).

Maka dari itu hal yang dapat kita petik dari sifat serta intelektualitas Al-Muhasibi yaitu dalam menjadi sufi hal yang perlu ditekankan adalah bukan hanya perihal zuhud semata. Dikarenakan apabila menjadi sufi hanya berzuhud dan melupakan dunia seutuhnya, sebenarnya disatu sisi bertentangan dengan beberapa ayat yang difirmankan oleh Allah SWT. mulai dari perihal kita sebagai manusia untuk berkeluarga, bekerja dalam mengisi kehidupan, serta berinteraksi sebagai makhluk sosial.[15] Jadi dalam beragama ataupun beribadah haruslah diisi dengan beragam macam ilmu, salah satunya ilmu fiqh agar kita mengetahui halal-haram atau yang dianjurkan dan dilarang oleh Allah SWT. bukan hanya menjauhi atau memusuhi di dunia seutuhnya. Sebab bagaimanapun juga, jalan menuju kepada Allah singkatnya kita senantiasa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal tersebut haruslah di dasarkan pada berbagai macam ilmu terutama fiqh tersebut. Selain itu mempelajari ilmu lain seperti sains, filsafat, dan sebagainya lebih bagus lagi sebagai sarana dalam menyikapi dunia bukan lari dari kenyataan dunia. Dikarenakan ilmu pengetahuan tersebut sebagai acuan dalam kemajuan peradaban dunia, maka bukan tidak mungkin apabila semakin banyak sosok seperti Al-Muhasibi maka akan tercipta peradaban keemasan Islam bahkan peradaban keemasan dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Azizi, A. S. (2017). Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. Yogyakarta: Noktah.

Badrudin. (2015). Pengantar Ilmu Tasawuf. Serang: A-Empat.

Pakar, S. I. (2013). Tokoh-Tokoh Tasawuf. Yogyakarta: Deepublish.

Qudus, A. (2015). Perbandingan Pemikiran Islam: Teologi, Fiqh, dan Tasawuf. Mataram: Sanabil Creative.

Riyadi, A. K. (2016). Arkeologi Tasawuf. Bandung: Mizan Pustaka.

[1] Abdul Qudus. 2015. Perbandingan Pemikiran Islam: Teologi, Fiqh, dan Tasawuf. Mataram: Sanabil Creative. Hal 119

[2] Badrudin. 2015. Pengantar Ilmu Tasawuf. Serang: A-Empat. Hal 2

[3] Suteja Ibnu Pakar. 2013. Tokoh Tokoh Tasawuf. Yogyakarta:Deepublsih. Hal 40

[4] Abdul Kadir Riyadi. 2016. Arkeologi Tasawuf. Bandung: Mizan Pustaka. Hal 158

[5] Ibid. Hal 27

[6] Abdul Syukur Al-Azizi. 2017. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. Yogyakarta: Noktah. Hal. 207

[7] Abdul Kadir Riyadi. Op. Cit. Hal. 29

[8] Suteja Ibnu Pakar. Op. Cit. Hal 76

[9] Ibid. Hal. 3

[10] Ibid. Hal. 8

[11] Abdul Kadir Riyadi. Op. Cit. Hal. 34

[12] Ibid. Hal. 37

[13] Ibid. Hal. 32

[14] Ibid. Hal. 27

[15] QS. Al-Maidah:5, QS. Al-Araf:10, QS. Al-Hujarat:13

--

--